PERAN PSIKOLOGI DALAM PENENTUAN HAK ASUH ANAK PADA MASA GOLDEN AGE DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh:
Dr. Drs. Muhlas, S.H., M.H.[1]
(Ketua Pengadilan Agama Surakarta)
Anak adalah harta yang paling berharga selain karena sebagai karunia Allah SWT juga sebagai penerus generasi yang akan menyambung sejarah hidup suatu bangsa. Keberlangsungan anak dalam kehidupanya melekat hak martabat dan hak-hak lainya sebagai manusia yang dilindungi oleh konvensi maupun konstitusi. Di Indonesia hak-hak anak secara detail telah diatur melalui Undang –undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 23 tahun 2002 yang telah diubah dengan No. 34 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan secara garis besar diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan UU No. 16 tahun 2019, serta KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Nasib anak dalam keluarga tidak selamanya berjalan lancar dan mulus, ada anak yang harus terpaksa tereksploitasi di masa kanak-kanak, ada anak yang terlahir dari akibat hubungan di luar nikah yang berdampak pada rasa malu, beban dan tekanan sosial lingkungan yang sangat kuat yang pada giliranya menjadi peluru mematikan yang membunuh rasa naluri sebagai orang tua, ada anak yang harus mengalami penderitaan terbuang atau terdampar di panti-panti asuhan, sehingga hilang masa masa bermainya. Di era baru sekarang ini yang marak dialami anak-anak zaman now adalah menjadi korban kesibukan orang tuanya, agar anak diam dan orangnya tua kelar dalam mengurus kesibukanya anak dijejali dengan gawai (gadget) yang berdampak hubungan orang tua dengan anak menjadi asing dan tidak ramah lagi, belum lagi ada anakyang harus menjadi korban pecahnya rumah tangga orang tua dan lain sebaginya. Fenomena ini harus dicarikan solusi hukum karena anak tidak dapat memilih lahir dari kondisi keluarga sebagaimana yang dikehendaki oleh anak itu sendiri.
Anak adalah aset bangsa oleh karena itu Negara hadir dalam melindungi rakyatnya termasuk kepada anak-anak, yaitu dengan hadirnya perangkat hukum yang sudah terta rapi melalui undang-undang dan peraturan lainya. Lalu sejak kapan pemberian perlindungan kepada anak harus ditegakkan? Pertanyaan itu menjadi penting karena hadirnya anak adalah generasi bangsa yang akan meneruskan estafet kehidupan di masa mendatang, perlindunganya harus sejak dini sejak masa-masa pembentukan karakter atau biasa disebut denga masa-masa golden age; tidak semua orang tua memahami moment itu apalagi bagi orang tua yang rumah tangganya telah pecah (broken marriage) pasti anak yang akan menjadi korban pertama karena kasihsayangnya, perhatianya dan kepedualiannya telah berkurang apalagi ada kehidupan baru.
Konflik ini mulai muncul, ada yang mulai berebut simpati dari orang tua, kerabat atau yang merasa peduli kepada anak untuk berusaha mengambil alih peran perawatan,pengasuhan dan pembesaran, bahkan sampai kepada gugatan di Pengadilan. Dalam Islam hal itu disebut hadlonah yang dalam istilah hukum secara umum adalah hak asuh anak. Apa itu hadlanah ? Sayyid Sabiq[2] mendefinisikan kurang lebih sebagai berikut: “ suatu sikap perlindungan terhadap anak baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya secara fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”.
Langkah perebutan hak asuh tidak jarang sampai ke ranah hukum di pengadilan yang diyakini oleh masyarakat sebagai langkah akhir, mengingat pengadilan memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah fungsi mewujudkan keadilan,ketertiban,keseimbangan sosial, kepuasan dan lain lain[3]. Terhadap penyelesaian secara kekeluargaan di kalangan masyarakat biasanya tidak mengalami gejolak, karena semua saling menyadari peran dan tanggung jawabnya demi kemaslahatan anak, akan tetapi berbeda saat hak perebutan anak tersebut harus sampai pada pengadilan selain tatanan hukum yang menjadi pijakan dasar, yang tidak kalah pentingnya adalah pertimbangan sosial, psikologi, lingkungan dan religi.
Yang dicari penyelesaian hukum melalui pengadilan adalah efektifitasnya yang selama ini dapat dinilai lebih mudah dan riil karena ada lembaga eksekusinya, padahal apabila kita memperhatikan seseorang mentaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentinganya[4]. Yang diantaranya adalah bersifat compliance, identification, internalization dan lain sebagainya. Langkah tegas pengadilan dalam membentengi hak anak apabila terjadi sengketa hak asuhnya adalah dengan memperkuat beban tambahan berupa dwangsom (uang paksa) untuk memberikan tekanan psikologis kepada terhukum agar sukarela menyerahkan anak sesuai perintah Hakim.[5]
Untuk menjamin tumbuh kembang anak telah diatur secara berurutan siapa saja yang berhak mengasuh anak, hal ini untuk memberikan kepastian secara kelaziman bahwa urutan itu untuk menjamin kejelasan dan agar tidak terjadi perdebatan dan perebutan hak asuh yang berujung merugikan anak itu sendiri, kecuali apa bila ketentuan dimaksud ternyata merugikan anak secara fisik maupun psikis maka urutan hak asuh dapat beralih kepada urutan lainya. Urutan ini ditetapkan untuk menjamin kemaslahatan tumbuh kembang anak, adapun secara urutan yang menjadi skala prioritas adalah para wanita, naluri kewanitaan lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak serta adanya kesabaran dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak dibanding seorang laki-laki.[6] Lebih lanjut diuraikan oleh Andi Samsu Alam dan Fauzan[7] dalam buku hukum pengangkatan anak Perspektif Islam yang mengabil pendapat para Ulama Madzhab ( Hanafi dan Syafii) menjabarkan bahwa hak asuh anak secara berurutan setelah ibu adalah nenek, kemudian ibu dari Ayah dan seterusnya sampai keatas. Baru setelah itu boleh beralih kepada saudara perempuan anak itu, saudara saudara ibu yang wanita dan seterusnya. Hal itu sejalan dengan ketentuan pasal 156 KHI.
Peran psikologi untuk menentukan hak asuh anak sangat menentukan keberhasilan pengasuhan anak, Erik Erikson ( 1902-1994) psikolog dari Frankrurt Jerman ini sudah menjelaskan dalam toerinya bahwa hubungan ibu dan anak sebagai bagian penting dari perkembangan kepribadian[8]. Bahkan lebih lanjut Erik Erikson tersebut telah membagi beberapa fase anak 0 tahun sampai dewasa secara detail, yang kemudian dari teori iru bila dikembangkan pada teori Abraham Maslow[9] (1908-1970) akan saling melengkapi di mana dalam teori dimaksud bahwa kebutuhan secara hirarkhi harus terpenuhi untuk memuaskan kebutuhan yang selalu muncul diantaranya safty and security needs. Dari yang dibutuhkan anak itu semuanya pada umumnya Ibu dan lingkungan akan sangat membantu keperluan dan kebutuhan perkembangan anak.
Pembentukan karakter dalam pengasuhan anak sangat diperlukan untuk mengasah dan membentuk kemampuan yang sempurna agar kognitif, afektif dan psikomotorik anak tumbuh kembang secara wajar dan layak. Di sisi lain Jean Piaget [10], telah menjabarkan tentang factor factor perkembangan mental yang penulis kaitkan dengan pembentukan karakter anak dalam pengasuhan orang tua atau orang terdekat adalah dengan menitik beratkan pada dua aspek saja yaitu afektif dan kognitif sebagai inti pendapatnya. Dua aspek ( afektif dan kognitif) pada waktu bersamaan tidak terpisahkan dan tidak dapat direduksi, justru kesatuan perilaku inilah yang membuat factor-faktor dalam perkembangan menjadi umum bagi aspek kognitif dan afektif.
Kapan masa atau usia anak dalam pembentukan karakter tersebut ? banyak Ahli psikologi atau tokoh Pendidikan menyatakan diantara masa PAUD adalah masa terpenting yang biasa disebut masa golden ege. Dalam ranah hukum biasanya klasifikasi anak untuk digolongkan masa pembentukan karakter anak-anak adalah masa sebelum mumayyiz dan anak yang sudah memahami peradaban dan pergaulan masuk pada kelompok mumayyiz. Masa-masa sebelum mumayyiz inilah masa-masa yang rentan dan sangat krusial karena rasa penasaran anak yang tinggi tidak sebanding dengan kemampuan pola fikirnya, salah dalam mengelola pola fikir anak yang tidak sealur dengan perkembangan duania anak dan pendidikannya akan berdampak kerusakan, atau setidak-tidaknya anak akan mengalami banyak kerugian dalam tumbuh kembangnya.
Penjabaran dan uraian di atas menunjukkan peran serta dukungan sosial, pendidikan, lingkungan dan agama sangat memiliki peran yang sangat penting agar tujuan pembentukan karakter dalam menghantarkan tumbuh kembang anak dalam pengasuhan anak adalah tidak boleh disepelekan atau ditinggalkan.
Dari uraian panjang lebar tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mengasuh anak selain atas kenyamanan dan keamanan anak itu sendiri yang tidak kalah pentingnya adalah lingkungan sosial yang sehat,agar anak menjadi nyaman dalam menganalisa tingkah laku lingkungan yang dapat ditiru dan dikembangkan anak, tercukupinya kebutuhan fisik untuk menunjang daya tumbuh kembang anatomis anak, tersedianya dengan mudah dan kelengkapan dunia pendidikan untuk memupuk bakat minat dan nalar yang kuat sebagai bekal mengadapi persaingan hidup secara riil dan perlu tercukupinya pengaruh religi lingkungan yang kuat sebagai bekal pembentukan karakter yang berbasis nilai luhur agama dengan baik sebagai bekal anak setelah hidup bermasayarakat secara luas.
Demikian tulisan singkat ini yang dapat kami sajikan semoga dapat menjadi tambahan pemahaman tentang pentingnya peran psikologi dalam mengasuh anak dalam kontek perebutan hak asuh anak, saran dan kritik membangun tetap kami harapkan demi kesempurnaan tulisan-tulisan lain pada problem hukum lainnya.
Wa Allah al a’lam bi al shawab.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Andi Samsu dan Fauzan, M, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Pena Media, Jakarta Timur, 2008.
Ali, Ahmad, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicial prodence) termasuk Interpretasi Undang-undang (legal prodence), Kencana, Jakarta.
Arto, Mukti, dan Alfiah, Ermanita, Urgensi Dwangsom dalam Eksekusi Hadanah, Kencana Jakarta, 2018.
Marliani, Rosleny, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Pustakan Setia, Bandung, 2016.
Piaget, Jean, Psikologi Anak ( The Psychology of the Child), Pustaka Belajar Jogjakarta, 2018.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah juz 2, Kairo,Fathul I’lamil ‘azami.
Varia Peradilan Majalah Hukum tahun ke XXII No 258 Mei 2007.
[1]. Ketua Pengadilan Agama Surakarta.
[2]. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah juz 2, Kairo,Fathul I’lamil ‘azami,h 216.
[3]Varia Peradilan Majalah Hukum tahun ke XXII No 258 Mei 2007 h,7.
[4]Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (judicialprodence) termasuk Interpretasi Undang-undang (Legalprodence),Kencana,Jakarta,h.375.
[5]. Mukti Arto, Ermanita Alfiah, Urgensi Dwangsom dalam Eksekusi Hadanah, Kencana Jakarta, 2018,h. 124.
[6]Andi Samsu Alam. M.Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Pena Media, Jakarta Timur, 2008,h. 118.
[7]. ibid h. 119.
[8]Rosleny Marliani, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Pustakan Setia, Bandung, 2016, h. 81.
[9]. ibid ,h 86.
[10]. Jean Piaget, Psikologi Anak ( The Psychology of the Child), Pustaka Belajar Jogjakarta, 2018,h.