BERKURBAN UNTUK MENYEMBELIH BERHALA YANG BERSEMAYAM DALAM HATI
Oleh Yusron Trisno Aji, S.Sy., M.H.
Dalam ajaran Islam, secara historis, ritual penyembelihan hewan kurban yang dilakukan pada setiap hari tasyrik bulan Dzulhijjah terilhami oleh drama Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan putera semata wayangnya karena perintah Allah.
Secara etimologis, nama Ibrahim dalam bahasa Ibrani dieja Ab-rab-ham yang artinya ayahnya orang banyak, Father of manyak. Selain dikenal sebagai ayahnya orang banyak, Nabi Ibrahim juga dikenal sebagai bapak dari banyak nabi, father of faith. Dari tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), Nabi Ibrahim seringkali didudukkan sebagai syimbol kepatuhan dan ketundukan terhadap Tuhan, saking patuhnya, karenanya ia diberi predikat khalilullah (kekasih Allah).
Agenda dan niat penyembelihan yang dilakukan oleh bapak terhadap anak tersebut, memang harus terjadi pada zamannya Nabi Ibrahim (3500SM), sebagai i’tibar (gambaran/motivasi) kepada umat manusia setelahnya, untuk terus merawat kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan. Karena apabila dilakukan pada hari ini, pasti akan berurusan dengan aparat penegak hukum dan tentunya juga komnas perlindungan anak. Sebuah rencana konyol yang didapatkan melalui mimpi untuk menyembelih anak kandung sendiri, dan pasti pelakunya akan divonis mengindap skizofrenia, penyakit psikologis yang ditandai oleh halusinasi tingkat tinggi atau sakit jiwa.
Drama Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih putranya (Nabi Ismail) tersebut adalah refleksi tingkat tinggi. Dalam peristiwa tersebut, Nabi Ismail dimaknai sebagai miniatur berhala. Sebuah obyek kecintaan terhadap dunia yang pada umumnya tercurahkan dari seorang kepada anak. Siapa yang tidak mengidam-idamkan tumbuhnya anak menjadi generasi penerusnya? Terlebih Nabi Ismail adalah putra yang lama dinanti kehadirannya.
Berhala itu bukan hanya anak, segala sesuatu yang bersifat profan (berhubungan dengan duniawi) yang bersemayam di dalam hati cukup lama, kerap kali berubah menjadi berhala, seperti jabatan, popularitas, kekayaan, trah/keturunan, dan lainnya.
Selain Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail, aktor yang ikut berperan dalam drama tersebut adalah Iblis. Ia sebagai simbol perlawanan pada kebenaran yang bekerja dengan gigih. Qur'an menyebut, iblis akan menggoda manusia dari segala arah dan penjuru. Nabi Ibrahim, Hajar dan Ismail didatangi Iblis untuk menggagalkan perintah Tuhan. Iblis sulit menggoda manusia dari arah atas ketika orang itu selalu berdoa. Dan iblis sulit menggoda dari bawah ketika seseorang suka sujud.
Sedangkan hewan kurban merupakan simbol perilaku destruktif atau kebinatangan yang mesti kita sembelih, setelah mati ditandai dengan daging kurban yangg kita bagi-bagikan pada fakir miskin. Sifat-sifat kebinatangan senantiasa hidup dalam diri kita yang mesti kita sembelih atau ditundukkan. Sifat itu tercermin dalam perilaku destruktif sehari-hari seperti: iri, dengki, adu domba, tamak, sombong, perilaku koruptif, dan lainnya.
Jadi menyembelih hewan kurban pada hari raya idul adha adalah syari’at yang musti dilalui apa adanya (benar-benar menyembelih hewan) sesuai dengan tuntunan fiqih, sedangkan menyembelih sifat-sifat kebinatangan adalah hakikat kurban yang sebenarnya yang harus kita lakukan setiap saat tanpa harus menunggu momentum hari raya idhul adha untuk meningkatkan kualitas kepatuhan dan ketundukan pada Tuhan, kemudian kita bangun solidaritas kemanusiaan. Nabi Ibrahim lulus dari ujian, berhasil menyembelih berhala di hatinya, lalu figur Ismail diganti domba. Ketaatan dan komitmen menegakkan kebenaran sebagai realisasi ketaatan kepada Tuhan memang selalu mensyaratkan pengurbanan yang amat berat.
Selamat Hari Raya Idul Adha Tahun 1441 H, semoga setiap pengorbanan kita senantiasa dinilai ibadah oleh Allah SWT.