KEBENARAN ITU LAYAKNYA CERMIN PECAH
Oleh: Yusron Trisno Aji, S.Sy., M.H.
Innadina ‘indallahi al-islam
Islam memang datang dari Allah, namun tidak seorang pun mampu memahaminya secara benar tentang Islam sesuai dengan apa yang Allah inginkan, kecuali Nabi Muhammad SAW, karena ia disifati ma’shum dalam menafsirkan Islam melalui nash (al-Quran dan al-Hadist). Pemahaman tentang Islam pasca wafatnya Nabi seketika berubah menjadi pemahaman manusia yang kebenarannya bersifat relative. Keadaan ini sesuai dengan kekhawatiran Nabi bahwa dalam memahami Islam akan terpecah menjadi beberapa aliran.
Memang benar, bahwa kebenaran mutlak itu milik Sang Maha Benar semata (Q.S. al-Baqarah: 147). Meski demikian, kita tidak perlu khawatir, karena sesungguhnya Ia juga telah mengakui bahwa, tiap-tiap hambaNya mempunyai cara pandang masing-masing dalam menangkap citra kebenaran dariNya (Q.S. al-Baqarah: 148), hal itu justru sebagai rahmat, maka sudah selayaknya kita mensyukuri dengan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Kesempurnaan tersebut memberikan arti betapa beraneka ragamnya makhluk Allah SWT.
Penjelasan daya tangkap kebenaran yang berbeda-beda ini dapat diuraikan melalui proses-proses penciptaan. Bahwa Allah dalam menciptakan makhluknya satu pun tidak ada yang sama persis dan semua unik. Sebagaimana wadah (tempat) yang diisi air. Ada yang berbentuk gelas, teko, ember, bak mandi, hingga tandon air (profil tanki). Meskipun isinya sama-sama air, namun bentuk air akan mengikuti formasi wadahnya masing-masing. Begitu juga dengan manusia, bahwa sejak Nabi Adam hingga manusia yang terlahir pada detik ini juga mempunyai wadah tangkapan cahaya kebenaran dari Allah berbeda-beda, begitu juga ketika orang hendak memahami Islam, yang tentunya akan berbeda-beda. Sekarang, pertanyaannya adalah bagaimana mungkin bias berbeda-beda sementara al-Qur’an dan al-Hadistnya sama?
Untuk menjawab hal itu, perlu difahami bahwa dalam menerima kebenaran itu tidak lepas dari akal, persoalan ini bias dibuktikan dari ketika seseorang yang secara organ fisiknya lengkap dan berfungsi dengan baik, namun bila dicabut fungsi akalnya tentu tidak akan bias memahami makna al-Qur’an dan al-Hadist. Karena pemahaman itu jalurnya harus melewati akal. Sementara tiap-tiap manusia yang terlahir di dunia ini mempunyai akal yang berbeda-beda, sehingga cara pandangnya pun juga akan berbeda-beda. Tetapi justru itulah rahmat bagi sesame. Bayangkan, bila seluruh manusia pikirannya seragam, alangkah rumitnya kita menjalani hidup ini?!
Oleh sebab itu, bila ada yang berpemahaman kolot (kaku), sukanya ngotot dengan cara pandangnya sendiri, dengan model berfikir “pokoknya” yang tidak sesuai dengan cara pandangnya dianggap salah semua, sesat, kafir dan berbagai varian lainnya, maka perbendaharaan kebenaran yang ia peroleh dari Allah juga kan semakin sedikit. Berbeda halnya bila ia bersedia memungut pemahaman dari orang lain yang berbeda pandangan dengannya, maka horizonnya akan semakin luas, begitu juga dengan kebenaran yang ia terima dari Allah juga semakin lengkap.
Kebenaran itu ibarat cermin yang pecah berkeping-keping. Kemudian tiap-tiap kita memungut satu pecahan. Tentunya satu pecahan cermin bila untuk berkaca belum bias memantulkan gambaran yang utuh. Nah, usaha yang efektif untuk mendapatkan gambaran yang utuh adalah kita harus mengumpulkan atau meminjam serpihan pecahan cermin yang ditemukan oleh tiap-tiap kita dan kemudian menggabungkannya. Dengan begitu pantulan gambaran akan lebih mendekati sempurna. Begitu juga dengan kebenaran, langkah efektif untuk mendapatkan kebenaran yang nyaris sempurna adalah kita harus rajin-rajin melakukan passing over terhadap pemahaman orang lain yang berbeda dengan kita. Dengan begitu kebenaran kita akan semakin komplit. Karena, bisa jadi pemahaman yang kita yakini saat ini tidak sepenuhnya benar dan sebaliknya, pemahaman yang berbeda dengan kita bias jadi tidak sepenuhnya salah. Sebagaimana menurut Ibnu Arabi, bahwa apabila terdapat satu juta manusia yang berusaha memahami Islam, maka akan ada satu juta potensi kebenaran pula, dengan catatan orang tersebut tidak mengikuti nafsunya (kepentingan pribadi/kelompok).
Karena kalau tidak demikian yang paling dikhawatirkan akan muncul, yaitu tumbuhnya sikap ta’ashub fil madzhab (fanatisme dalam bermadzhab). Bibit-bibit ta’ashub muncul akbat tidak mau melihat kebenaran orang lain. Bahwa dalam benaknya seolah-olah pemahaman tentang keagamaannya yang selama ini ia yakini sudah dikonfirmasi kebenarannya oleh Allah secara mutlak, sehingga ketika ada orang yang berbeda pemahaman tentang keberagamaan dengannya, maka langsung dikatakan salah dan sesat karena telah menyimpang dari ajaran Allah. Tipe seperti ini meskipun setiap hari mengampanyekan perdamaian dan sikap tasamuh antar sesame, maka perbuatan tersebut sama halnya membangunkan kuda mati dengan cambuk.
Sikap voltaire (kritik membangun) dalam hal keberagamaan hari ini memang terasa sangat asing, meskipun di kalangan organisasi keagamaan yang secara konsisten setiap hari mengampanyekan toleransi dan moderasi, pasalnya sikap ini harganya sangat mahal. Ia harus rela menggadaikan kapasitas intelektualnya bilamana ia mengakui atau menghormati pemahaman orang lain, dalam alam fikirnya mengatakan bahwa kapasitas intelektualnya akan turun drastis atau dapat menurunkan righting popularitas organisasinya, padahal yang demikian itu pemahaman yang keliru besar. Semakin voltaire sikap seseorang terhadap orang lain maka hal itu menunjukkan matangnya sikap psikologis dan spiritual seseorang. Wallahu ‘alam……..