PA SURAKARTA TERIMA KUNJUNGAN PENELITIAN WASIAT WAJIBAH ANAK TIRI DAN IDDAH WANITA HAMIL MAHASISWA UMS
Pengadilan Agama Surakarta dalam hari yang sama menerima 2 (dua) kelompok kunjungan mahasiswa penelitian Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Senin (21/10/2019) pukul 10.00 WIB di Ruang Ketua Pengadilan Agama Surakarta.
Kunjungan ini dilaksanakan berdasarkan Surat Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Nomor: 705/FH/C.6-II/IX tanggal 20 September 2019 perihal Permohonan Wawancara Penerapan Wasiat Wajibah bagi Anak Tiri dan Surat Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Nomor: 755/FH/C.6-II/X/2019 tanggal 5 Oktober 2019 perihal Permohonan Wawancara Tentang Iddah Wanita Hamil Akibat Perceraian.
Dalam kesempatan tersebut, ketua Pengadilan Agama Surakarta Dr. Drs. Muhlas, S.H., M.H. menerangkan bahwa wasiat wajibah adalah produk hukum yang diadopsi dari Hukum Mesir.
“Wasiat wajibah ada karena secara kultural masyarakat Indonesia mempunyai tradisi demikian. Sementara itu dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 180 juga pernah menyinggung tentang “kerabat yang dekat dalam masalah pemberian wasiat” idza hadhara ahadakum al-mautu intaraka khairal washiyatu lil walidaini wal aqrabiina bil ma’ruf. Kata aqrabiin dapat diinterpretasikan sebagai orang yang berjasa atau orang yang merawat. Seperti anak tiri yang sudah dekat dan merawat Pewaris selama hidupnya. Namun demikian wasiat wajibah tidak diperkenankan melebihi dari bagian ashabul furudh. Karena hak ashabul furudh hanya dapat diberikan kepada seseorang dengan jalur nasab dan akibat perkawinan. Ketentuan ini tidak melanggar hukum Islam, mengingat perihal waris adalah perkara muamalah sehingga terbuka lebar bagi kita untuk melakukan terobosan hukum, berbeda dengan perkara aqidah atau ibadah, kita dilarang berkreatif (ijtihad).”, papar Ketua Pengadilan Agama Surakarta.
Proses pemberian wasiat wajibah dapat dilakukan melalui permohonan ke Pengadilan Agama sepanjang pewaris beragama Islam. Ketentuan ini ditegaskan dalam penjelasan UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menghapus hak opsi bagi para pencari keadilan dimana sebelum UU tersebut disahkan para pencari keadilan masih bisa memilih atara Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Negeri.
“Anak tiri memungkinkan memperoleh bagian melalui jalan wasiat wajibah apabila anak tiri diposisikan sebagai subyek hukum dalam perkara di Pengadilan Agama, dan peran dalam keluarga tersebut terbukti ada kontribusi, baik berupa pengabdian, keikhlasan dan merupakan bagian dari keluarga. Setiap perkara yang diajukan ke Pengadilan pasti ada jalan hukumnya, jadi masyarakat tidak perlu kawatir. Karena peran Pengadilan Agama adalah memberi solusi hukum bagi masyarakat Muslim”, jelas Dr. Drs. Muhlas, S.H.,M.H.
“Selain dapat diberikan kepada anak tiri, sepanjang perannya terbukti memberikan kontribusi dan pengabdian serta keikhlasan, maka wasiat wajibah juga dapat diberikan kepada anak biologis yang terlahir di luar perkawinan, hal ini semua diterapkan dalam kontek kemaslahatan”, ujar Ketua.
“Istri yang mengandung pada saat melangsungkan perkawinan maka bila anak tersebut terlahir maka ia tidak mendapatkan warisan. Karena definisi ashabul furudh itu hanya terjadi bila anak tersebut lahirnya akibat dari perkawian”, tambah Ketua.
Sementara itu, dalam season yang ke 2 (dua), wawancara difokuskan di seputar iddah wanita hamil akibat perceraian. Pada kesempatan tersebut Ketua Pengadilan Agama Surakarta memulai pembahasan dari kenapa harus ada iddah? Menurut Ketua, tujuan perkawinan salah satunya adalah untuk mendapatkan keturunan. Oleh karenanya nasab dalam keturunan di sini harus jelas dan hanya dapat diperoleh melalui mekanisme perkawinan.
“Tujuan perkawinan itu kan untuk mendapatkan keturunan. Di sini perlu digaris bawahi bahwa kedudukan keturunan harus jelas, maka dari itu perceraian bagi wanita hamil masa iddahnya sampai melahirkan agar kedudukan si anak jelas. Wanita hamil dalam masa iddah diharamkan untuk menikah, sebab dalam rahim wanita tersebut masih terdapat janin yang berasal dari mantan suaminya dan itu sangat dilarang dalam Islam, karena dapat merusak nasab”, lanjut Ketua Pengadilan Agama Surakarta dengan penuh semangat memberikan penjelasan kepada para mahasiswa.
“Akan tetapi, kalau menikah dalam kondisi hamil namun tidak dalam masa iddah menurut jumhur masih diperbolehkan vide pasal 53 Kompilasi Hukum Islam. Hanya saja, nanti nasab si anak tidak dapat tersambung dengan bapaknya, meskipun secara biologis si anak tersebut merupakan anak dari si bapak dalam perkawinan tersebut”, tutup Ketua.
Proses wawancara tersebut berlangsung cukup menarik, mengingat para mahasiswa tergolong cukup kritis dan mempunyai rasa penasaran tinggi. Sebagai penutup wawancara, Ketua Pengadilan Agama Surakarta berfoto bersama dengan para mahasiswa. (Adm/Yusron)