WAWANCARA MAHASISWA UMS TERKAIT PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI ASPEK YURIDIS DI PA SURAKARTA
Pengadilan Agama Surakarta menerima kunjungan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta untuk melakukan penelitian dan wawancara terkait perkawinan beda agama ditinjau dari aspek yuridis, Rabu (7/11/2019) pukul 15.00 WIB di ruang Ketua Pengadilan Agama Surakarta. Kunjungan ini dilaksanakan berdasarkan Surat Dekan Fakultas Hukum UMS Nomor: W11-A31/ 890 /HM.00/X/2019 tanggal 17 Oktober 2019 perihal Permohonan Izin Riset dan wawancara.
Dalam kesempatan tersebut, ketua Pengadilan Agama Surakarta Dr. Drs. Muhlas, S.H., M.H. menerangkan bahwa, “di Indonesia perkawinan dianggap sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga bisa dan tidaknya perkawinan beda agama dikembalikan pada hukum masing-masing agama”, terang Ketua.
Misalnya saja Islam, agama Islam melarang perkawinan beda agama sebagaimana yang tertuang dalam Q.S. al-Baqarah ayat 221 dan Q.S. Mumtahanah ayat 10, kecuali laki-lakinya beragama Islam sedangkan perempuannya ahli kitab, sebagaimana yang tersurat dalam Q.S. al-Maidah ayat 5 dihalalkan bagi kamu wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang ahli kitab sebelum kamu. Begitu juga dengan agama lain, tentu juga mempunyai aturan tersendiri dalam hal perkawinan, dan hampir dipastikan agama non Islam juga melarang menikah dengan pemeluk agama lain, sebagaimana agama Islam.
Perkawinan beda agama selain dilarang dalam agama juga mempunyai dampak yang kurang bagus secara psikologis. Karena pada umumnya mereka yang menikah beda agama atau yang awalnya seagama kemudian salah satu pihak pindah agama setelah menikah, kehidupannya menjadi kurang harmonis. Karena setiap orang akan mengajarakan doktrin agamanya masing-masing kepada anak-anaknya. Sementara tiap-tiap agama mempunyai doktrin agama yang berbeda. Nah, hal ini yang kerap kali membingungkan anak-anak mereka. Sehingga kedua belah pihak mengalami percekcokan terus menerus (syiqaaq) karena perbedaan prinsip dalam hidup dan berebut pengaruh terhadap anak-anaknya supaya mengikuti agama masing-masing kedua belah pihak hingga berujung pada perceraian.
Perkawinan beda agama dalam UUP No. 1 tahun 1974 tidak diatur sama sekali, dalam UUP tersebut hanya mengatur perkawinan campuran, dimana salah satu pihak adalah warga Negara asing. Oleh karena tidak diatur, maka seseorang yang menginginkan menikah beda agama dianggap salah satu pihak melepas keyakinan, baru kemudian dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, bukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Karena KUA kantor administrasi pencatatan perkawinan masyarakat yang beragama Islam tidak mengakui perkawinan beda agama.
Pada prinsipnya, perkawinan beda agama itu tidak ada. Apabila dipaksakan salah satu pihak harus melepas atau tunduk pada agama pasangannya. Karena hampir dapat dipastikan bahwa, perkawinan beda agama juga ditolak oleh seluruh agama resmi di Indonesia.
Kaitannya dengan Pengadilan Agama, bila seseorang yang pada awal menikah berdasarkan hukum Islam. Namun dalam perjalanannya, salah satu pihak atau keduanya telah pindah agama, maka bila hendak mengajukan perceraian harus ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, bila pada saat melangsungkan perkawinan, kedua mempelai tunduk pada hukum agama non Islam, kemudian dalam perjalanannya baik salah satu atau keduanya telah menjadi muallaf, maka bila ingin mengajukan perceraian tetap di Pengadilan Negeri. Asasnya terletak pada peristiwa hukum pada saat pertama kali menikah menggunakan hukum agama apa? tutup Ketua.
Diskusi berjalan Nampak asyik dan menyenangkan, mengingat bagi pewawancara pengetahuan seperti ini adalah hal baru, sehingga rasa penasaran terus menerus mendorong mereka untuk berfikir kritis. Sebagai penutup kegiatan, para mahasiswa berfoto dengan Ketua Pengadilan Agama Surakarta. (Adm/Yusron)