KETUA PA SURAKARTA DIDAPUK MENJADI PEMATERI DALAM SEMINAR GENDER DI FAKULTAS SYARIAH IAIN SURAKARTA
Surakarta | Ketua Pengadilan Agama Surakarta Dr. Drs. Muhlas, S.H., M.H. didapuk menjadi pemateri dalam acara seminar gender dengan tema “Membangun Sistem Peradilan yang Menjamin Hak Perempuan untuk Mendapat Akses Keadilan yang Setara Pasca Berlakunya Perma No. 3 Tahun 2017”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syariah IAIN Surakarta di ruang rapat I Fakultas Syariah, Selasa (26/11/2019). Acara ini dihadiri oleh Dekan, Wakil Dekan, para Dosen dan mahasiswa Fakultas Syariah dengan jumlah 140 mahasiswa.
Dalam presentasinya, Ketua PA Surakarta menerangkan bahwa “muncul Perma No. 3 Tahun 2017 pada dasarnya sebagai bagian dari implementasi dari UUD 1945 pasal 28D, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, terang Ketua.
Negara Indonesia sebenarnya telah lama melakukan rativikasi convention on the elimination of all forms of discrimination againts women, dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 1984, UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 tahun 2004 jo. UU No. 3 tahun 2009, UU No. 13 tahun 2006 jo. UU No. 31 tahun 2014. Dalam konteks ini, sebenarnya negara negara maju juga telah lama menggelorakan anti diskriminasi terhadap perempuan baik di muka publik maupun di mata hukum, termasuk dalam persidangan.
“Saat ini, dunia sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan kesetaraan gender. Bahwa perempuan saat ini sudah setara kedudukannya di muka publik maupun di muka hukum, bahkan dalam rangka penegakan hukum, ada rambu-rambu dalam Perma No. 3 tahun 2017, diantaranya Hakim dilarang memberikan pertanyaan dalam sidang yang bersifat intimidatif, mengajukan pernyataan yang melecehkan, dilarang bersikap tidak simpatik, dan membenarkan atas terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan dalih adat/kebudayaan dan penafsiran agama yang bias. Selain itu, Hakim berkewajiban untuk mempertimbangkan kesetaraan gender dari stereotip gender dalam peraturan perundangan, melakukan penafsiran perundang undangan yang dapat menjamin kesetaraan gender, menggali hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat sebagai faktor menguatkan kesetaraan gender, dan mempertimbangkan peraturan perundangan hasil rativikasi kesetaraan gender sebagai penguat kedudukan perempuan”, jelas Ketua.
Secara yuridis, kesetaraan gender di Indinesia sesungguhnya sudah direalisasikan. Hal ini dapat diketahui melalui peraturan perundangan yang berlaku. Misalnya dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
“Perempuan di Indonesia berhak melakukan perbuatan hukum memanfaatkan harta bersama, berhak merawat, mendidik, dan membesarkan anak. Berhak atas keselamatan, kesejahteraan, ketenangan dan kepastian, perlindungan dan akses keadilan. Berhak mendapat bantuan dan pendampingan dalam menghadapi kasus kasus hukum”, tambah Ketua.
“Di Pengadilan, perempuan di Indonesia mempunyai hak untuk mengajukan provisi dan gugatan secara khulu’ bilamana hal itu dipandang lebih menjamin keselamatan. Dalam hal kewarisan, perempuan di Indonesia tidak terhalang oleh laki-laki. Kepemilikan hartanya juga dapat diwariskan kepada ahli warisnya”, pungkas Ketua.
Setidaknya ulasan ini menggambarkan betapa Negara sebenarnya telah hadir untuk mengembalikan hak-hak perempuan pada tempatnya yaitu sebagai subyek dan bukan obyek. Kendalanya adalah, pandangan masyarakat awam yang masih mendikotomi pengertian gender dengan jenis kelamin, padahal gender bukanlah jenis kelamin. Untuk memulihkan hak-hak perempuan di mata masyarakat, perlu kerja sama yang baik di lintas sektor. Dengan harapan baik dari sisi sosial, budaya, ekonomi dan hukum, masyarakat dapat merasakan kesetaraan gender tanpa meninggalkan kodratnya. (Adm/Yusron)