PA SURAKARTA TERIMA PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIBA TERKAIT PERKAWINAN FASAKH AKIBAT BEDA AGAMA
Pengadilan Agama Surakarta menerima penelitian mahasiswa fakultas hukum Universitas Islam Batik Surakarta (UNIBA) terkait perkawinan fasakh (rusak) yang disebabkan oleh perbedaan agama, Senin (20/01/2020). Penelitian ini dimulai dengan bedah beberapa berkas perkara perceraian yang disebabkan oleh salah satu atau kedua belah pihak telah berpindah agama dari muslim menjadi non muslim. Adapun yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah Ketua PA Surakarta Dr. Drs. Muhlas, S.H., M.H.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua PA Surakarta menjelaskan secara runtut terkait paradigma hukum perkawinan di Indonesia, “bahwa secara yuridis, perkawinan di Indonesia mengacu pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana Pasal 2 Ayat 1 UUP No 1 tahun 1974 bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini artinya bahwa perkawinan di Indonesia keabsahannya merujuk pada hukum tiap-tiap agama,. Sementara itu, tiap-tiap agama mempunyai doktrin hukum masing-masing yang melarang pemeluknya untuk menikah dengan pemeluk agama lain”, jelas Ketua.
Pernyataan Ketua tersebut, selaras dengan semangat volkgeist (kondisi kejiwaan) bangsa Indonesia yang cenderung religius, hal ini sebagaimana tertuang dalam sila pertama Pancasila. Dimana seluruh praktek kehidupan bangsa Indonesia tidak jauh dari tuntunan agama. Terlebih dalam ajaran Islam, khusus mengenai perkawinan, Islam mendudukan institusi ini dalam sebuah ikatan sakral yang sangat kuat. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ketua bahwa, “dalam ajaran Islam, hanya ada 2 (dua) perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) sepanjang sejarah umat manusia, yaitu perjanjian antara Nabi Musa dengan rakyatnya dan ikatan hubungan perkawinan”, ungkap Ketua.
“bila seseorang telah keluar dari agama Islam artinya seseorang tersebut sudah tidak taat lagi dengan hukum agamanya, karena ia sudah tidak taat, maka praktek yang berada di dalamnya berarti juga sudah rusak (fasakh), termasuk pondasi perkawinan yang ia jadikan landasan sebagai elemen keabsahan perkawinan. Sehingga konsekuensinya kalau melakukan hubungan suami-istri yang dulunya halal, sekarang dihukumi zina, begitu juga dengan nasab anak yang dilahirkannya, tidak dapat menyambung pada bapaknya, hanya menyambung pada Ibu saja. Di situ lah pentingnya menjaga kemurnian nasab, kalau nasabnya terputus, saat menikah nanti bila anaknya perempuan harus pakai wali hakim. Dampak perbedaan agama juga membuat seseorang tidak dapat saling mewarisi”, tambah Ketua.
“Jadi, dari situlah kenapa undang-undang kita tidak mengatur perkawinan campuran beda agama adanya hanya perkawinan campuran antar warga negara, karena dampaknya sangat buruk. Selain itu, perkawinan beda agama berpotensi sangat besar terhadap keretakan rumah tangga. Saat belum mempunyai anak, mungkin masih bisa saling memahami, tetapi kalau sudah mempunyai anak biasanya akan muncul gesekan yang disebabkan dari saling pengaruh mempengaruhi anaknya untuk memeluk agama masing-masing yang mengakibatkan si anak mengalami kebingungan psikologis. Karena setiap orang beragama tentunya mempunyai dogma kepercayaan bahwa agamanya lah yang dapat menjamin keselamatan di kehidupan setelah mati, sementara itu siapa yang tidak menginginkan anak-anaknya selamat dunia akhirat..?! tanya Ketua.
“Oleh karena itu, perkawinan beda agama di Indonesia tidak diakui, baik secara yuridis maupun agama. Selain agama tidak ada yang memperkenankan, prinsip hukum perkawinan kita bukan hanya sebatas kepentingan administratif untuk melegalkan hubungan seksual semata, tetapi lebih dari itu, relasi manusia dengan Tuhannya sesuai doktrin agama masing-masing” pungkas Ketua. (ADM/Yusron)